Kesultanan Yogyakarta atau Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sebuah wilayah dependen yang berbentuk kerajaan.
Kerajaan Belanda mengatur negara ini dengan menggunakan perjanjian atau kontrak politik bersama dengan Negara Kasultanan Ngayogyakarta.
Sementara kontrak politik terakhir antara Kerajaan Belanda dan Kesultanan Ngayogyakarta terakhir adalah Perjanjian Politik 1940 atau Staatsblad 1941, No. 47.
Kehadiran sistem pemerintahan Kesultanan ini menjadi daya tarik wisata yang unik bagi para pelancong yang datang berkunjung.
Apalagi jika bukan karena penasaran akan cerita Panjang sejarah dan juga warisan budayanya.
Namun Kesultanan Ngayogyakarta memiliki perjalanan Panjang yang sarat dengan berbagai nilai sejarah yang mengagumkan. Penasaran? Yuk kita simak sejarah lengkapnya.
Sejarah Kesultanan Yogyakarta
Catatan sejarah menunjukan bahwa pada abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islan di Jawa bagian tengah menuju selatan Bernama Mataram.
Kota Gede yang terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta saat ini menjadi pusat Kota dan pemerintah pada saat itu.
Kehadiran pemerintah kolonial Belanda lambat laun membuat kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu.
Akibatnya, terdapat banyak Gerakan perlawan terhadap pemerintah kolonial di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi.
Namun akhirnya perlawanan tersebut, berhasil di padamkan melalui perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang di tandatangai pada 13 Februari 1755 oleh Pangeran Mangkubumi dan juga Gubernur VOC Jendral Jacob Mossel.
Akibat yang timbul dari perjanjian ini adalah terbaginya Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta hadiningrat beserta Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Surakarta berada di bawah kepemimpinan dari Susuhunan Paku Buwono III sementara Ngayogyakarta berada di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Selanjutnya, Kasultanan Yogyakarta memulai perjalanannya dengan adanya proklamasi atau atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 13 Maret 1755.
Selama setahun, pembangunan terus berlangsung, sementara itu Sri Sultan beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang.
Sultan kemudian memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756, peristiwa ini kemudian terkenal dengan nama Dwi Raga Rasa Tunggal atau Dwi Naga Rasa Wani.
Pengaruh Pemerintahan Kolonial Belanda
Kehadiran pemerintah kolonial baik Belanda atau Inggris memberikan dinamika tersendiri bagi kehidupan Kasultanan Yogyakarta.
Berbagai peristiwa penting terjadi, seperti serangan Inggris pada 20 Juni 1812, Ketika itu Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton.
Tak hanya itu, Inggris juga berhasil menurunkan paksa Sultan Hamengku Buwono II dan memaksanya menyerahkan Sebagian wilayahnya kepada pangeran Notokusumo.
Pangeran Notokusumo kemudian mendapatkan jabatan baru sebagai Adipati Paku Alam I yang menguasai sebagian wilayah kecil dalam Ibukota negara dan daerah Adikarto.
daerah otonom ini kemudian di wariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo, sejak 17 Maret 1812 Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Nasib Kesultanan Pasca Indonesia Merdeka
Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai raja Yogyakarta segera mengucapkan selamat atas berdirinya Republik Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan.
Dukungan terhadap berdirinya Republik semakin terlihat nyata dengan keluarnya amanat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VII pada 5 September 1945.
Dalam amanat tersebut, kedunaya menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keluarnya Amanat ini sekaligus menandai Yogyakarta sebagai kerajaan pertama yang menyatakan bergabung dalam bingkai Republik Indonesia.
Sebagai balasan atas dukungan tersebut, segera Ir. Sukarno menetapkan Sultan Hamengku Buwono seryta Adipati Paku Alam sebagai dwi tunggal yang berkuasa atas Yogyakarta.
Pada masa itu, wilayah Kasultanan meliput daerah-daerah seperti Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul serta Kabupaten Kulon Progo.
Kabupaten tersebut tidak memiliki otonominya sendiri melainkan hanya sebuah wilayah administratif.
Januari 1946, situasi politik di Jakarta tidak sedang dalam kondisi stabil akibat adanya pertikaian antara kelompok pro-Belanda dan Pro-Republik.
Saat itu, Sultan memberikan gagasan agar pemerintahan berpindah sementara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Gayung bersambut, usul tersebut langsung mendapatkan tanggapan positif dari Presiden Sukarno, sehingga rombongan pemerintahan republik segera berkemas.
Rombongan pemerintahan menempuh perjalanan menuju Yogyakarta pada 3 Januari 1946 dengan menggunakan kereta.
Meski sempat terkatung-katung, status keistimewaan Yogyakarta akhirnya mendapatkan pengesahan melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012.
Selain mengatur mengenai Keistimewaan DIY, Undang-Undang tersebut juga bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian budaya.
Demikian sejarah singkat mengenai perjalanan Keraton Yogyakarta, pastinya cukup menarik untuk terus di simak.
Discover more from EKSPOSE.ID™
Subscribe to get the latest posts sent to your email.